Halaman

Rabu, 23 Februari 2011

billing internet

Untuk men download program billing internet, silahkan anda klik link di bawah ini :
<br/><br/>
<a href="http://www.snapdrive.net/files/452250/billing%20internet.zip">download</a>

Selasa, 22 Februari 2011

Berjabat Tangan

Sabtu, 09 Agustus 2003 - 03:49:09,  Penulis : Berbagai Sumber
Kategori : Muammalah
Bid'ah dan Maksiatnya Jabat Tangan
[Print View] [kirim ke Teman]

Bid'ah dalam Berjabat Tangan
Mengucapkan salam dan berjabat tangan kepada sesama Muslim adalah perkara yang terpuji dan disukai dalam Islam. Dengan perbuatan ini hati kaum Muslimin dapat saling bersatu dan berkasih sayang di antara mereka. Namun apa yang terjadi jika perbuatan terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang semestinya? Tidak ada kebaikan yang didapat bahkan pelanggaran syariatlah yang terjadi.

Kita tidak mengetahui dari salah seorang sahabat pun atau Salafush Shalih Radhiyallahu Anhum bahwa apabila mereka selesai dari shalat menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menjabat tangan orang di sekitarnya agar diberkahi sesudah shalat.

Seandainya salah seorang dari mereka melakukan hal itu, sungguh akan dinukilkan bagi kita meskipun dengan sanad yang lemah dan ulama akan menyampaikan kepada kita karena mereka terjun di semua lautan lalu menyelam ke bagian yang terdalam dan menngeluarkan hukum-hukum darinya. Mereka tidak mungkin menyepelekan sunnah Qauliyyah, Fi’liyyah, Taqririyyah atau sifat (sabda, perbuatan, persetujuan atau sifat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam ) [ Tamam Al Kalaam fi Bid’ah Al Mushafahah Ba’da As Salaam hal. 24 - 25 dan Al Masjid fi Al Islam, hal. 225 ]

Kebaikan seluruhnya dalam mengikuti Rasul Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam (Fatawa Al Izzi Bin Abdus Salam hal. 46 - 47 dan lihat Al Majmu’ 3/488)

Syaikh Al Albani berkata dalam As Silsilah As Shahihah 1/23 : “Adapun jabat tangan setelah shalat adalah bid’ah yang tidak ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang yang belum bersua sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah.”

Al Luknawi berkata setelah menyebutkan silang pendapat tentang jabat tangan setelah shalat : “Di antara yang melarang perbuatan itu adalah Ibnu Hajar Al Haitami As Syafi’i, Quthbuddin Bin ‘Ala’ddin Al Makki Al Hanafi dan Fadlil Ar Rumi dalam Majalis Al Abrar menggolongkannya termasuk dari bid’ah yang jelek, ketika beliau berkata : “Berjabat tangan adalah baik saat brtemu. Adapun selain saat bertemu misalnya keadaan setelah shalat Jum’at dan dua hari raya sebagaimana kebiasaan di zaman kita adalah perbuataan tanpa landasan hadits dan dalil !” Padahal telah diuraikan pada tempatnya bahwa tidak ada dalil berarti tertolak dan tidak boleh taqlid padanya (sumber yang sama dan Ad Dienul Al Khalish 4/314, Al Madkhal 2/84, dan As Sunan wa Al Mubtada’at hal. 72 dan 87)

Beliau juga berkata : “Sesungguhnya ahli fikih dari kelompok Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Malikiyyah menyatakan dengan tegas tentang makruh dan bid’ahnya. Beliau berkata dalam Al Multaqath : “Makruh (tidak disukai) jabat tangan setelah shalat dalam segala hal karena Shahabat tidak saling berjabat tangan setelah shalat dan bahwasannya perbuatan itu termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidhah. Ibnu Hajar, seorang ulama Syafi’iyyah berkata : “Apa yang dikerjakan oleh manusia berupa jabat tangan setelah shalat lima waktu adalah perkara yang dibenci, tidak ada asalnya dalam syariat.”

Dan alangkah fasihnya perkataan Beliau Rahimahullahu Ta’ala dari Ijtihad dan Ikhtiarnya. Beliau berkata : Pendapat saya : “Sesungguhnya mereka telah sepakat bahwa jabat tangan (setelah shalat ) ini tidak ada asalnya dari syariat”. Kemudian mereka berselisih tentang makruh atau mubah. Suatu masalah yang berputar antara makruh atau mubah, harus difatwakan untuk melarangnya, karena menolak mudharat lebih utama daripada menarik maslahah. Lalu kenapa dilakukan padahal tidak ada keutamaan mengerjakan perkara yang mubah?

Sementara orang-orang yang melakukannya di jaman kita menganggapnya sebagai perkara yang baik, menjelek-jelekkan dengan sangat orang yang melarangnya dan mereka terus menerus dalam perkara itu. Padahal terus menerus dalam perkara yang mandub (sunnah) secara berlebihan akan menghantarkan pada batas makruh. Lalu bagaimana jika terus menerus dalam perkara yang bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syariat?

Akhirnya sebagai penutup harus diperingatkan bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya yang Muslim, kecuali dengan sebab yang syar’i. Yang kami saksikan berupa gangguan terhadap kaum Muslimin ketika mereka melaksanakan dzikir-dzikir sunnah setelah shalat wajib kemudian mereka dengan tiba-tiba mengulurkan tangan untuk berjabat tangan ke kanan dan ke kiri dan seterusnya yang memaksa mereka tidak tenang dan terganggu, bukan hanya karena jabatan tangan akan tetapi karena memutuskan tasbih dan mengganggu mereka dari dzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala karena jabat tangan ini padahal tidak ada sebab-sebab berupa perjumpaan atau semisalnya.

Jika permasalahannya demikian, maka bukanlah termasuk dari hikmah jika anda menarik tangan Anda dari tangan orang disamping Anda yang terulur pada Anda. Karena ini sesungguhnya adalah sikap yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan tetapi ambillah tangannya dengan lemah lembut dan jelaskan kepadanya kebid’ahan jabat tangan ini yang diada-adakan manusia. Betapa banyak orang yang terpikat dengan nasihat dan dia orang yang pantas dinasihati.

Hanya saja ketidaktahuan telah menjerumumskannya kepada perbuatan menyelisihi sunnah. Maka wajib atas ulama dan penuntut ilmu menjelaskannya dengan baik. Bisa jadi seseorang atau penuntut ilmu bermaksud mengingkari kemungkaran, tetapi tidak tepat memilih metode yang selamat. Maka dia terjerumus ke dalam kemungkaran yang lebih besar daripada yang diingkari sebelumnya. Maka lemah lembutlah wahai da’i-da’i Islam. Buatlah manusia mencintai kalian dengan akhlak yang baik niscaya kalian akan menguasai hati mereka dan kalian mendapati telinga yang mendengar dan hati yang penuh perhatian dari mereka. Karena tabiat manusia lari dari kekasaran dan kekerasan (Tamam Al kalam fi Bid’ah Al Mushafahah Ba’da As Salam hal. 23). [Dinukil dari SALAFY Edisi XIV/Syawal/1417 H/1997 M]

Maksiat dalam Berjabat Tangan
Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram / wanita asing (ajnabi) merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah.

Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" [Hadits Shahih, Lihat takhrijnya secara panjang lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku].

Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]
[Disalin dari Kitab Ahkaamu Al-Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid, Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]

MERAYAKAN VALENTIN'S DAY

Hukum Merayakan Valentin's Day

Sabtu, 5 Februari 2005 21:11:48 WIB

HUKUM MERAYAKAN VALENTIN'S DAY

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Akhir-akhir ini telah merebak perayaan valentin's day -terutama di kalangan para pelajar putri-, padahal ini merupakan hari raya kaum Nashrani. Mereka mengenakan pakaian berwarna merah dan saling bertukar bunga berwarna merah.. Kami mohon perkenan Syaikh untuk menerangkan hukum perayaan semacam ini, dan apa saran Syaikh untuk kaum muslimin sehubungan dengan masalah-masalah seperti ini. Semoga Allah menjaga dan memelihara Syaikh.

Jawaban:
Tidak boleh merayakan valentin's day karena sebab-sebab berikut:

Pertama.
Bahwa itu adalah hari raya bid'ah, tidak ada dasarnya dalam syari'at.

Kedua.
Bahwa itu akan menimbulkan kecengengan dan kecemburuan.

Ketiga.
Bahwa itu akan menyebabkan sibuknya hati dengan perkara-perkara bodoh yang bertolak belakang dengan tuntunan para salaf.

Karena itu, pada hari tersebut tidak boleh ada simbol-simbol perayaan, baik berupa makanan, minuman, pakaian, saling memberi hadiah, ataupun lainnya.

Hendaknya setiap muslim merasa mulia dengan agamanya dan tidak merendahkan diri dengan menuruti setiap ajakan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melindungi kaum muslimin dari setiap fitnah, baik yang nyata maupun yang tersembunyi, dan semoga Allah senantiasa membimbing kita dengan bimbingan dan petunjukNya.

[Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, tanggal 5/11/1420 H yanq beliau tandatangani]

HUKUM MERAYAKAN VALENTIN'S DAY

Oleh
Al-Lajnah Ad-Da' imah lil Buhuts Al-'Ilmiyah wal Ifta'

Pertanyaan:
Al-Lajnah Ad-Da' imah lil Buhuts Al-'Ilmiyah wal Ifta' ditanya : Setiap tahunnya, pada tanggal 14 Februari, sebagian orang merayakan valentin's day. Mereka saling betukar hadiah berupa bunga merah, mengenakan pakaian berwarna merah, saling mengucapkan selamat dan sebagian toko atau produsen permen membuat atau menyediakan permen-permen yang berwarna merah lengkap dengan gambar hati, bahkan sebagian toko mengiklankan produk-produknya yang dibuat khusus untuk hari tersebut. Bagaimana pendapat Syaikh tentang:

Pertama: Merayakan hari tersebut?
Kedua: Membeli produk-produk khusus tersebut pada hari itu?
Ketiga: Transaksi jual beli di toko (yang tidak ikut merayakan) yang menjual barang yang bisa dihadiahkan pada hari tersebut, kepada orang yang hendak merayakannya?
Semoga Allah membalas Syaikh dengan kebaikan.

Jawaban:
Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, para pendahulu umat sepakat menyatakan bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha, selain itu, semua hari raya yang berkaitan dengan seseorang, kelompok, peristiwa atau lainnya adalah bid'ah, kaum muslimin tidak boleh melakukannya, mengakuinya, menampakkan kegembiraan karenanya dan membantu terselenggaranya, karena perbuatan ini merupakan perbuatan yang melanggar batas-batas Allah, sehingga dengan begitu pelakunya berarti telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Jika hari raya itu merupakan simbol orang-orang kafir, maka ini merupakan dosa lainnya, karena dengan begitu berarti telah bertasyabbuh (menyerupai) mereka di samping merupakan keloyalan terhadap mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang kaum mukminin ber-tasyabbuh dengan mereka dan loyal terhadap mereka di dalam KitabNya yang mulia, dan telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

"Artinya : Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka."[1]

Valentin's day termasuk jenis yang disebutkan tadi, karena merupakan hari raya Nashrani, maka seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak boleh melakukannya, mengakuinya atau ikut mengucapkan selamat, bahkan seharusnya me-ninggalkannya dan menjauhinya sebagai sikap taat terhadap Allah dan RasulNya serta untuk menjauhi sebab-sebab yang bisa menimbulkan kemurkaan Allah dan siksaNya. Lain dari itu, diharamkan atas setiap muslim untuk membantu penyelenggaraan hari raya tersebut dan hari raya lainnya yang diharamkan, baik itu berupa makanan, minuman, penjualan, pembelian, produk, hadiah, surat, iklan dan sebagainya, karena semua ini termasuk tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan serta maksiat terhadap Allah dan RasulNya, sementara Allah Swt telah berfirman.

"Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya." [Al-Ma'idah: 2]

Dari itu, hendaknya setiap muslim berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dalam semua kondisi, lebih-lebih pada saat-saat terjadinya fitnah dan banyaknya kerusakan. Hendaknya pula ia benar-benar waspada agar tidak terjerumus ke dalam kese-satan orang-orang yang dimurkai, orang-orang yang sesat dan orang-orang fasik yang tidak mengharapkan kehormatan dari Allah dan tidak menghormati Islam. Dan hendaknya seorang muslim kembali kepada Allah dengan memohon petunjukNya dan keteguhan didalam petunjukNya. Sesungguhnya, tidak ada yang dapat memberi petunjuk selain Allah dan tidak ada yang dapat meneguhkan dalam petunjukNya selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hanya Allah lah yang kuasa memberi petunjuk.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da' imah lil Buhuts Al-'Ilmiyah wal Ifta' (21203) tanggal 22/11/1420H]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. HR. Abu Dawud dalam Al-Libas (4031), Ahmad (5093, 5094, 5634).

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=1335&bagian=0

Hukum Ulang Tahun

Jum'at, 16 Januari 2004 - 04:17:32,  PenulisSyaikh Muhammad As-Saalih Al-'Utsaimin
KategoriFatwa_Ulama
Hukum merayakan ulang tahun dalam Islam
[Print View] [kirim ke Teman]
Merayakan Hari Lahir dan Ulang Tahun

Tanya : Bagaimana hukum yang berkaitan dengan perayaan hari ulang tahun perkawinan dan hari lahir anak-anak ?

Jawaban : Tidak pernah ada (dalam syar’iat tentang) perayaan dalam Islam kecuali hari Jum’at yang merupakan Ied (hari Raya) setiap pekan, dan hari pertama bulan Syawaal yang disebut hari Ied al-Fitr dan hari kesepuluh Dzulhijjah atau disebut Ied Al-Adhaa - atau sering disebut hari ' Ied Arafah - untuk orang yang berhaji diArafah dan hari Tasyriq (tanggal ke 11, 12, 13 bulan Dzul-Hijjah) yang merupakan hariIed yang menyertai hari IedhulAdhaa.

Perihal hari lahir orang-orang atau anak-anak atau hari ultah perkawinan dan semacamnya, semua ini tidak disyariatkan dalam (Islam) dan merupakan bid’ah yang sesat. (Syaikh Muhammad Salih Al ' Utsaimin)

Sumber :
Al-Bid'u wal-Muhdatsaat wa maa laa Asla Lahu- Halaman 224; Fataawa fadhilatusy-Syaikh Muhammad As-Saalih Al-'Utsaimin- Jilid 2, Halaman 302.

(Diterjemahkan dari http://www.fatwa-online.com/fataawa/innovations/celebrations/cel003/0010428_1.htm)

Mengangkat tangan dalam Berdo'a

Mengangkat Kedua Tangan Pada Saat Khutbah Jum'at Dan Mengusap Wajah Sesudah Berdo'a

Minggu, 30 Januari 2005 09:04:51 WIB

MENGANGKAT KEDUA TANGAN PADA SAAT KHUTBAH JUM’AT

Oleh
Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih

Pertanyaan.
Syaikh Abddul Aziz bin Baz ditanya : “Apa hukumnya mengangkat kedua tangan bagi makmum tatkala mengamini doa imam pada waktu khhutbah Jum’at. Dan apa hukumnya mengeraskan ucapan amin ?”

Jawaban.
Tidak ada anjuran baik bagi imam maupun bagi makmum untuk mengangkat tangan tatkala berdo’a pada waktu khutbah jum’at sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafaurrasyidun tidak melakukan hal tersebut.

Akan tetapi jika berdoa istisqa’ dalam khutbah Jum’at, maka dianjurkan bagi imam dan makmum untuk mengangkat tangan pada waktu berdoa istisqa’, karena pada waktu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca do’a istisqa’, beliau mengangkat tangannya dan juga para jama’ah bersama beliau.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu” [Al-Ahzab : 21]

Dibolehkan membaca amin bagi makmum pada waktu mendengar doa imam pada saat khutbah Jum’at asalkan tanpa mengeraskan suara”

[Fatawa Islamiyah 1/427]


MENGUSAP WAJAH SESUDAH BERDOA

Sebagian orang sesudah berdoa mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya, padahal tidak ada hadits satupun yang shahih yang membenarkan perbuatan tersebut. Yang paling baik adalah mengikuti sunnah Rasul dan yang paling buruk adalah segala tindakan menentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang yang berdoa hendaknya tidak mengusapkan kedua telapak tangan sesudah berdoa, sebab tanpa itu dia akan mendapat pahala.

Abu Daud berkata bahwa saya mendengar Imam Ahmad ditanya oleh salah seorang tentang hukum mengusap wajah sesudah berdoa, maka beliau menjawab : “Saya tidak pernah mendengar itu dan saya tidak pernah mendapatkan sesuatu tentang itu. Abu Daud berkata : Saya tidak pernah melihat Imam Ahmad mengerjakan hal itu. [Abu Daud dalam Masail Imam Ahmad hal.71]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa mengangkat tangan pada saat berdoa adalah sunnah berdasarkan hadits-hadits yang sangat banyak, tetapi tentang mengusap wajah dengan kedua telapak tangan tidak saya temukan kecuali satu atau dua hadits, itupun tidak bisa dipakai sebagai dasar amalan tersebut.[Majmu Fatawa 22/519]

Syaikh Al-Izz bin Abdussalam berkata bahwa tidaklah mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sesudah berdoa kecuali orang-orang bodoh saja. [Fatawa Izz bin Abdussalam]

[Disalin dari buku Jahalatun Nas Fid Du’a edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdo’a hal. 75-76 &81-82ul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=1326&bagian=0

Hukum Melafadzkan Niat

Kamis, 21 Oktober 2004 - 10:58:19,  Penulis : Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini
Kategori : Problema Anda
Hukum Melafadzkan Niat
[Print View] [kirim ke Teman]
Apakah benar tidak ada bacaan khusus sebelum takbir (bacaan ushalli)?
Koko Wiharto - kok...@yahoo.com

Jawab:
الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ
Memang benar demikian, bahkan hal itu merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama yang sempurna ini. Sebagaimana diterangkan para ulama berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar yang diwarisi dari para shahabat (as-salaf ash-shalih) ridhwanullahi alaihim ajma’in.
1. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/285): “Ketahuilah bahwa niat itu tempatnya di qalbu (hati), oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih, dari shahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu)
Maka niat itu bukan amalan anggota tubuh1, oleh karena itu kami mengatakan bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah. Tidak disunnahkan bagi seseorang jika hendak melaksanakan suatu ibadah2 untuk mengucapkan:
اللَّهُمَّ نَوَيْتُ كَذَا أَوْ أَرَدْتُ كَذَا
“Ya Allah tuhanku, aku berniat untuk…” atau “aku bermaksud untuk…”, baik secara jahr (keras) maupun sirr (pelan), karena hal ini tidak pernah dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam qalbu setiap orang. Maka engkau tidak perlu mengucapkan niatmu karena niat itu bukan dzikir sehingga (harus) diucapkan dengan lisan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dan yang lainnya. Bahkan dalam ibadah haji pun seseorang tidak disunnahkan untuk mengatakan:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ أَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ
“Ya Allah, aku berniat untuk umrah atau aku berniat untuk haji.”
Namun dia mengucapkan talbiyah sesuai dengan yang dia niatkan. Dan talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat karena talbiyah mengandung jawaban terhadap panggilan Allah. Maka talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam hati. Oleh karena itu seseorang mengucapkan:
لَبَّيْكَ عُمْرَةً أَوْ لَبَّيْكَ حَجًّا
“(Ya Allah), aku memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan umrah” atau “(Ya Allah) aku memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan haji.”

2. Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata dalam Ijabatus Sail (hal. 27): “Melafadzkan niat merupakan bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ أَتُعَلِّمُوْنَ اللهَ بِدِيْنِكُمْ
“Katakanlah (wahai Nabi), apakah kalian hendak mengajari Allah tentang agama (amalan) kalian?” (Al-Hujurat: 16)
Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari a’rabi (seorang Arab dusun) yang tidak benar cara shalatnya dengan sabdanya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ
“Jika kamu bangkit (berdiri) untuk shalat maka bertakbirlah (yakni takbiratul ihram, pen).” (Muttafaqun ‘alaih dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)
Jadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan kepadanya: “Ucapkanlah: Aku berniat untuk…”3
Dan niat itu tempatnya di hati, berdasarkan hadits:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat.” (Muttafaqun ‘alaih, dari shahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu)
Maka merupakan suatu kekeliruan jika dikatakan bahwa dalam kitab Al-Umm4 ada penyebutan melafadzkan niat. Tidak ada dalam kitab Al-Umm penyebutan tersebut.
Dan melafadzkan niat tidak ada sama sekali dalam ibadah apapun dalam agama ini. Adapun talbiyah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: (لَبَّيْكَ حَجًّا), maka ada 2 kemungkinan:
1. Kata (حَجًّا) manshub5 sebagai mashdar (maf’ul muthlaq) yaitu (لَبَّيْكَ أَحُجُّ حَجًّا) “(Ya Allah), aku menjawab panggilan-Mu untuk menunaikan haji.”
2. Kata (حَجًّا) manshub sebagai maf’ul dari fi’il (نَوَيْتُ) yaitu (لَبَّيْكَ نَوَيْتُ حَجًّا) “(Ya Allah), aku menjawab panggilanmu, aku berniat untuk haji.”
Namun ibadah ini (yaitu talbiyah) disamakan dengan ibadah-ibadah lainnya, maka kemungkinan yang pertama yang benar.6
3. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata (Zadul Ma’ad, 1/201): “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat beliau mengatakan (اللهُ أَكْبَرُ), dan beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya. Dan tidaklah beliau melafadzkan niat sama sekali dan tidak pula mengatakan:
أُصَلِّي لِلَّهِ صَلاَةَ كَذَا مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ إِمَاماً أَوْ مَأْمُوْمًا
“Aku berniat shalat ini (dzuhur misalnya, pen) menghadap kiblat, empat rakaat, sebagai imam,” atau “sebagai makmum.”
Dan beliau tidak mengatakan:( أَدَاءً)7 atau (قَضَاءً)8, tidak pula (فَرْضَ الْوَقْتِ)9. Ini adalah 10 bid’ah10, tidak seorangpun yang menukilkannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dengan sanad yang shahih, atau dha’if (lemah), atau musnad (sanad yang bersambung) atau mursal (terputus sanadnya), satu lafadz pun dari lafadz-lafadz itu. Bahkan tidak juga dari seorang shahabat sekalipun. Dan tidak seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik, dan tidak pula dari kalangan imam yang empat (Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad, pen).
Hanya saja sebagian orang dari kalangan mutaakhirin (orang-orang yang belakangan, pen) salah memahami perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i tentang shalat bahwa: ‘Shalat itu tidak sama dengan puasa, maka tidaklah seseorang mengawali shalatnya kecuali dengan dzikir,’ maka orang ini menyangka bahwa yang dimaksud adalah melafadzkan niat untuk shalat. Padahal yang dimaksud oleh Al-Imam Asy-Syafi’i adalah takbiratul ihram, bukan yang lainnya.”
Wallahu a’lam.

1 Karena Rasulullah memisahkan antara amalan-amalan anggota tubuh dengan niat, bahwa niat itu yang menggerakkan tubuh untuk beramal.
2 Baik itu wudhu, shalat, puasa dan ibadah lainnya.
3 Atau “ushalli…”, sebagaimana yang sering kita dengar dari saudara-saudara kita yang sangat jahil dengan agama ini.
4 Kitab karangan Al-Imam Asy-Syafi’i.
5 Istilah dalam ilmu nahwu.
6 Artinya bahwa talbiyah merupakan dzikir, dan bukan melafadzkan niat.
7 Artinya ibadah yang ditunaikan pada waktunya.
8 Artinya ibadah yang ditunaikan setelah waktunya berlalu.
9 Artinya shalat yang diwajibkan pada waktu itu, baik dzuhur, atau ashar dan lainnya.
10 Yaitu 10 lafadz kata yang disebutkan.

Sabtu, 12 Februari 2011

Hijau Lungkunganku





Mari bersama-sama kita hijaukan lingkungan, terlebih hutan-hutan kita, karena dari merekalah anak cucu kita esok bisa hidup sejahtera.

Senin, 07 Februari 2011

Profil YPAY AL-IKHLAS MOJOKERTO


Sejarah Singkat YPAY “Al-Ikhlas”
Kota Mojokerto

Berawal dari seorang tokoh ulama kota mojokerto yang setiap mengakhiri wejangannya (nasehat) kepada para santri dan generasi muda NU antara lain : “kita harus berani, dalam arti berani berjuang diatas kaki kita sendiri, tanpa menggantungkan diri pada orang lain (ormas lain)”. Tidak lain adalah K.H. Achyat Chalimy yang melontarkan konsep percaya kepada kemampuan diri sendiri, dan kesadaran akan kebutuhan tenaga penerus perjuangan yang mumpuni dan menjiwai amanat perjuangan yang sangat diperlukan, dan ini menyebabkan suatu permasalahan yang dibahas dalam rapat dalam surau (mushalla) miliknya dijalan miji no.38, yang sekarang adalah Pondok Pesantren “Sabilul Muttaqin” dan suraunya menjadi masjid “Sabilul Muttaqin” di Jl. Wachid Hasyim No.38
Salah satu jalan untuk membangkitkan semangat dan memelihara kejayaan islam adalah ditempuh dengan jalan mendidik para kader dengan pendidikan formal dengan berbekal ilmu pengetahuan agama dan umum. Langkah awal yang dilaksanakan adalah sarana penggeblengan (pendidikan) kader dengan sangat sederhana dengan sebutan madrasah, cita-cita beliau adalah mulai dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Berdirilah madrasah mu’alimin-mu’alimat Nahdlatul Ulama pada tanggal 4 Agustus 1961 di jalan Brawijaya No.99 Mojokerto, yaitu : MTs. Brawijaya, disusul dengan SMP Islam Brawijaya tanggal 1 Januari 1967,  SMA Islam Brawijaya tanggal 4 Nopember 1978, dibawah naungan yayasan pendidikan dan pondok pesantren “Sabilul Muttaqin” Mojokerto.
Bukan hanya lembaga pendidikan formal yang sudah dan akan terwujud untuk mendidik para kader (generasi muda), sebagai data autentik dapat disebutkan sebagai contoh adalah pengajuan izin pembangunan dan berdasarkan izin bangunan dari dinas PU Kota Mojokerto nomor:63/DPD/Rool/67 tanggal 30 juli 1967 dengan menyebutkan:
1.    Membangun & mendirikan pondok pesantren
2.    Membangun & mendirikan Lembaga pendidikan formal
3.    Membangun & mendirikan Panti atau asrama yatim piatu
4.    Membangun & mendirikan Balai kesehatan atau rumah sakit
5.    Membangun & mendirikan Tempat ibadah
Semula kegiatan baik sekolah ataupun kegiatan yang lain semua berada di jalan Brawijaya No.99 Mojokerto, yang dapat dibayangkan seberapa luas dan besarnya tempat yang dibutuhkan untuk seluruh kegiatan, maka dalam waktu ± 35 tahun (1966-2000) terjadilah pembelian, pembebasan dan waqaf tanah untuk memperluas (terletak berbeda-beda), serta izin mendirikan bangunannya. Oleh karena itu, tidak bisa dielakkan adanya perpindah tempat dari jalan Brawijaya No.99 ke tempat sebagai berikut :
1.    Pondok Pesantren dan Masjid Sabilul Muttaqin berada di Jl. Wachid Hasyim No.38
2.    SMP Islam Brawijaya di Jl. Brawijaya No.99
3.    MTs Brawijaya di Jl. Empunala No.408
4.    SMA Islam Brawijaya di Jl. Raya Surodinawan
5.    PAY Al-Ikhlas di Jl. Brawijaya No.149-C
Selain tiga sekolah tersebut terdapat dua sekolah lagi yang berdiri dibawah bendera Yayasan pendidikan islam dan pondok pesantren “Sabilul Muttaqin” Mojokerto, yaitu STM Raden Fatah di Jl. Mayjed sungkono No.78-A dan SMK Paramita di Jl.Empunala No.15-17 , tetapi kedua sekolah tersebut sekarang sudah lepas atau berdiri sendiri atas nama lembaga pendidikan masing-masing. Seperti halnya dua sekolah tersebut, PAY Al-Ikhlas dan Rumah Sakit Sakinah diserahkan kepengurusannya pada satu lembaga tersendiri yaitu : Yayasan Penyantun Anak Yatim AL-IKHLAS dan Yayasan Rumah Sakit Islam SAKINAH.
Adapun struktur kepengurusan pertama YPAY Al-Ikhlas mojokerto tahun 1966 - 1971 adalah sebagai berikut :
o  Ketua                      : KH. Achyat Chalimy
o  Ketua I                   : H. Achmad Badrun Bilal
o  Ketua II                  : Askam Dimjati
o  Ketua III                : Mochammad Rosyad
o  Sekretaris I             : Muhammad Sufwan
o  Sekretaris II            : Oentoeng Mochammad Sholeh
o  Bendahara I            : Zaini
o  Bendahara II          : Abdullah Chasan
o  Anggota                 : 1. H. Moh. Saleh       5. Sampan
  2. H. Syafi’i              6. Saleh Roesman
  3. H. Abd. Majid      7. H. Abd. Chamid
  4. H. Ali Wahab
Setelah terbentuk kepengurusan pertama maka diperolehlah akte tanah dengan notaris Sumbono No.3/66 tanggal 01 Nopember 1966 dengan jumlah awal anak asuh yang menetap dipanti 8 (delapan) anak, dan pada kepengurusan kedua mampu memperoleh surat pendaftaran dari Kanwil Depsos Jatim tanggal 04 Oktober 1984 No.137/OBH/84. Waktupun terus berjalan mengikuti kehendak Tuhan dan pergantian pengurus tidak dapat dihindari lagi agar tidak terjadi kekosongan karena ada yang meninggal dunia, yaitu :
o  Penasehat               : KH. Muthoharun Afif, Lc
o  Ketua                      : H. Abdul Ghoni Farida
o  Wakil Ketua           : H. Mohammad Rosyad
o  Sekretaris                : Drs. H. Abdul Halim
o  Wakil Sekretaris     : Drs. Achmad Yazid Qohar
o  Bendahara              : Ahmad Munthoha
o  Anggota                 : 1. Drs. H. Ach. Marzuki
  2. Ir. Faisol Hariono
  3. Drs. Sueb Khariry
Dilanjutkan dengan kepengurusan yang tidak jauh berbeda dengan kepengurusan sebelumnya, yaitu :
o   Penasehat                         : Drs. KH. Muthoharun Afif, Lc.
H. Machfudz Barnawi
o   Ketua                               : H. Moh. Rosyad
o   Wakil Ketua                     : Drs. H. Achmad Marzuki
o   Sekretaris                         : Drs. H. Abd Halim Hasyim, M. PdI
o   Wakil Sekretaris               : Drs. H. Ahmad Yazid Qohar           
o   Bendahara                        : H. Ahmad Munthoha
o   Anggota                           : 1. Abdul Majid
2. Drs. H. Sueb Hariry
3. H. Sugeng, S.PdI
4. Ahmad Nawawi
5. Amin, S.Pd
Kepengurusan selanjutnya atau saat ini adalah masa jabatan tahun 2008-2013, dengan jumlah anak asuh 60 anak, yang 32 berada dalam panti dan selebihnya diluar panti (famili care), yaitu sebagai berikut :
o   Penasehat                         : Drs. KH. Muthoharun Afif, Lc. M.HI.
H. Abdul Majid.
o   Ketua                               : H. Moh. Rosyad
o   Wakil Ketua                     : Drs. H. Yazid Qohar
o   Sekretaris                         : Drs. H. Abd Halim Hasyim, M. PdI
o   Wakil Sekretaris               : Amin, S. Pd.
o   Bendahara                        : H. Sugeng, S.PdI
o   Anggota                           : 1. H. Sueb Hariry
2. Drs. H. Affandi Abd. Hadi, M.Pd
Tidak berbeda dengan lembaga lain, dalam kepengurusan ada masa jabatan sebagai ukuran perubahan program jangka panjang dan jangka pendeknya yaitu 5 (lima) tahun, tetapi perubahan anggota pengurus hanya terletak pada nama jabatan, baru setelah salah satu ada yang meninggal akan masuk anggota baru.

Mojokerto, 10 Nopember 2008
YPAY “Al-Ikhlas” Mojokerto
Ketua,

ttd

H. Mohammad Rosyad