<br/><br/>
<a href="http://www.snapdrive.net/files/452250/billing%20internet.zip">download</a>
<br/><br/>
<a href="http://www.snapdrive.net/files/452250/billing%20internet.zip">download</a>
Sabtu, 09 Agustus 2003 - 03:49:09, Penulis : Berbagai Sumber |
Kategori : Muammalah |
Bid'ah dan Maksiatnya Jabat Tangan [Print View] [kirim ke Teman] |
Bid'ah dalam Berjabat Tangan Mengucapkan salam dan berjabat tangan kepada sesama Muslim adalah perkara yang terpuji dan disukai dalam Islam. Dengan perbuatan ini hati kaum Muslimin dapat saling bersatu dan berkasih sayang di antara mereka. Namun apa yang terjadi jika perbuatan terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang semestinya? Tidak ada kebaikan yang didapat bahkan pelanggaran syariatlah yang terjadi. Kita tidak mengetahui dari salah seorang sahabat pun atau Salafush Shalih Radhiyallahu Anhum bahwa apabila mereka selesai dari shalat menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menjabat tangan orang di sekitarnya agar diberkahi sesudah shalat. Seandainya salah seorang dari mereka melakukan hal itu, sungguh akan dinukilkan bagi kita meskipun dengan sanad yang lemah dan ulama akan menyampaikan kepada kita karena mereka terjun di semua lautan lalu menyelam ke bagian yang terdalam dan menngeluarkan hukum-hukum darinya. Mereka tidak mungkin menyepelekan sunnah Qauliyyah, Fi’liyyah, Taqririyyah atau sifat (sabda, perbuatan, persetujuan atau sifat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam ) [ Tamam Al Kalaam fi Bid’ah Al Mushafahah Ba’da As Salaam hal. 24 - 25 dan Al Masjid fi Al Islam, hal. 225 ] Kebaikan seluruhnya dalam mengikuti Rasul Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam (Fatawa Al Izzi Bin Abdus Salam hal. 46 - 47 dan lihat Al Majmu’ 3/488) Syaikh Al Albani berkata dalam As Silsilah As Shahihah 1/23 : “Adapun jabat tangan setelah shalat adalah bid’ah yang tidak ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang yang belum bersua sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah.” Al Luknawi berkata setelah menyebutkan silang pendapat tentang jabat tangan setelah shalat : “Di antara yang melarang perbuatan itu adalah Ibnu Hajar Al Haitami As Syafi’i, Quthbuddin Bin ‘Ala’ddin Al Makki Al Hanafi dan Fadlil Ar Rumi dalam Majalis Al Abrar menggolongkannya termasuk dari bid’ah yang jelek, ketika beliau berkata : “Berjabat tangan adalah baik saat brtemu. Adapun selain saat bertemu misalnya keadaan setelah shalat Jum’at dan dua hari raya sebagaimana kebiasaan di zaman kita adalah perbuataan tanpa landasan hadits dan dalil !” Padahal telah diuraikan pada tempatnya bahwa tidak ada dalil berarti tertolak dan tidak boleh taqlid padanya (sumber yang sama dan Ad Dienul Al Khalish 4/314, Al Madkhal 2/84, dan As Sunan wa Al Mubtada’at hal. 72 dan 87) Beliau juga berkata : “Sesungguhnya ahli fikih dari kelompok Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Malikiyyah menyatakan dengan tegas tentang makruh dan bid’ahnya. Beliau berkata dalam Al Multaqath : “Makruh (tidak disukai) jabat tangan setelah shalat dalam segala hal karena Shahabat tidak saling berjabat tangan setelah shalat dan bahwasannya perbuatan itu termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidhah. Ibnu Hajar, seorang ulama Syafi’iyyah berkata : “Apa yang dikerjakan oleh manusia berupa jabat tangan setelah shalat lima waktu adalah perkara yang dibenci, tidak ada asalnya dalam syariat.” Dan alangkah fasihnya perkataan Beliau Rahimahullahu Ta’ala dari Ijtihad dan Ikhtiarnya. Beliau berkata : Pendapat saya : “Sesungguhnya mereka telah sepakat bahwa jabat tangan (setelah shalat ) ini tidak ada asalnya dari syariat”. Kemudian mereka berselisih tentang makruh atau mubah. Suatu masalah yang berputar antara makruh atau mubah, harus difatwakan untuk melarangnya, karena menolak mudharat lebih utama daripada menarik maslahah. Lalu kenapa dilakukan padahal tidak ada keutamaan mengerjakan perkara yang mubah? Sementara orang-orang yang melakukannya di jaman kita menganggapnya sebagai perkara yang baik, menjelek-jelekkan dengan sangat orang yang melarangnya dan mereka terus menerus dalam perkara itu. Padahal terus menerus dalam perkara yang mandub (sunnah) secara berlebihan akan menghantarkan pada batas makruh. Lalu bagaimana jika terus menerus dalam perkara yang bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syariat? Akhirnya sebagai penutup harus diperingatkan bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya yang Muslim, kecuali dengan sebab yang syar’i. Yang kami saksikan berupa gangguan terhadap kaum Muslimin ketika mereka melaksanakan dzikir-dzikir sunnah setelah shalat wajib kemudian mereka dengan tiba-tiba mengulurkan tangan untuk berjabat tangan ke kanan dan ke kiri dan seterusnya yang memaksa mereka tidak tenang dan terganggu, bukan hanya karena jabatan tangan akan tetapi karena memutuskan tasbih dan mengganggu mereka dari dzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala karena jabat tangan ini padahal tidak ada sebab-sebab berupa perjumpaan atau semisalnya. Jika permasalahannya demikian, maka bukanlah termasuk dari hikmah jika anda menarik tangan Anda dari tangan orang disamping Anda yang terulur pada Anda. Karena ini sesungguhnya adalah sikap yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan tetapi ambillah tangannya dengan lemah lembut dan jelaskan kepadanya kebid’ahan jabat tangan ini yang diada-adakan manusia. Betapa banyak orang yang terpikat dengan nasihat dan dia orang yang pantas dinasihati. Hanya saja ketidaktahuan telah menjerumumskannya kepada perbuatan menyelisihi sunnah. Maka wajib atas ulama dan penuntut ilmu menjelaskannya dengan baik. Bisa jadi seseorang atau penuntut ilmu bermaksud mengingkari kemungkaran, tetapi tidak tepat memilih metode yang selamat. Maka dia terjerumus ke dalam kemungkaran yang lebih besar daripada yang diingkari sebelumnya. Maka lemah lembutlah wahai da’i-da’i Islam. Buatlah manusia mencintai kalian dengan akhlak yang baik niscaya kalian akan menguasai hati mereka dan kalian mendapati telinga yang mendengar dan hati yang penuh perhatian dari mereka. Karena tabiat manusia lari dari kekasaran dan kekerasan (Tamam Al kalam fi Bid’ah Al Mushafahah Ba’da As Salam hal. 23). [Dinukil dari SALAFY Edisi XIV/Syawal/1417 H/1997 M] Maksiat dalam Berjabat Tangan Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram / wanita asing (ajnabi) merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah. Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" [Hadits Shahih, Lihat takhrijnya secara panjang lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku]. Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603] [Disalin dari Kitab Ahkaamu Al-Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid, Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein] |
Jum'at, 16 Januari 2004 - 04:17:32, Penulis : Syaikh Muhammad As-Saalih Al-'Utsaimin |
Kategori : Fatwa_Ulama |
Merayakan Hari Lahir dan Ulang Tahun Tanya : Bagaimana hukum yang berkaitan dengan perayaan hari ulang tahun perkawinan dan hari lahir anak-anak ? Jawaban : Tidak pernah ada (dalam syar’iat tentang) perayaan dalam Islam kecuali hari Jum’at yang merupakan Ied (hari Raya) setiap pekan, dan hari pertama bulan Syawaal yang disebut hari Ied al-Fitr dan hari kesepuluh Dzulhijjah atau disebut Ied Al-Adhaa - atau sering disebut hari ' Ied Arafah - untuk orang yang berhaji di ‘Arafah dan hari Tasyriq (tanggal ke 11, 12, 13 bulan Dzul-Hijjah) yang merupakan hari ‘Ied yang menyertai hari Iedhul ‘Adhaa. Perihal hari lahir orang-orang atau anak-anak atau hari ultah perkawinan dan semacamnya, semua ini tidak disyariatkan dalam (Islam) dan merupakan bid’ah yang sesat. (Syaikh Muhammad Salih Al ' Utsaimin) Sumber : Al-Bid'u wal-Muhdatsaat wa maa laa Asla Lahu- Halaman 224; Fataawa fadhilatusy-Syaikh Muhammad As-Saalih Al-'Utsaimin- Jilid 2, Halaman 302. (Diterjemahkan dari http://www.fatwa-online.com/fataawa/innovations/celebrations/cel003/0010428_1.htm) |
Kamis, 21 Oktober 2004 - 10:58:19, Penulis : Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini |
Kategori : Problema Anda |
Hukum Melafadzkan Niat [Print View] [kirim ke Teman] |
Apakah benar tidak ada bacaan khusus sebelum takbir (bacaan ushalli)? Koko Wiharto - kok...@yahoo.com Jawab: الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ Memang benar demikian, bahkan hal itu merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama yang sempurna ini. Sebagaimana diterangkan para ulama berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar yang diwarisi dari para shahabat (as-salaf ash-shalih) ridhwanullahi alaihim ajma’in. 1. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/285): “Ketahuilah bahwa niat itu tempatnya di qalbu (hati), oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى “Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih, dari shahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu) Maka niat itu bukan amalan anggota tubuh1, oleh karena itu kami mengatakan bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah. Tidak disunnahkan bagi seseorang jika hendak melaksanakan suatu ibadah2 untuk mengucapkan: اللَّهُمَّ نَوَيْتُ كَذَا أَوْ أَرَدْتُ كَذَا “Ya Allah tuhanku, aku berniat untuk…” atau “aku bermaksud untuk…”, baik secara jahr (keras) maupun sirr (pelan), karena hal ini tidak pernah dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam qalbu setiap orang. Maka engkau tidak perlu mengucapkan niatmu karena niat itu bukan dzikir sehingga (harus) diucapkan dengan lisan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dan yang lainnya. Bahkan dalam ibadah haji pun seseorang tidak disunnahkan untuk mengatakan: اللَّهُمَّ إِنِّيْ نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ أَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ “Ya Allah, aku berniat untuk umrah atau aku berniat untuk haji.” Namun dia mengucapkan talbiyah sesuai dengan yang dia niatkan. Dan talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat karena talbiyah mengandung jawaban terhadap panggilan Allah. Maka talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam hati. Oleh karena itu seseorang mengucapkan: لَبَّيْكَ عُمْرَةً أَوْ لَبَّيْكَ حَجًّا “(Ya Allah), aku memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan umrah” atau “(Ya Allah) aku memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan haji.” 2. Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata dalam Ijabatus Sail (hal. 27): “Melafadzkan niat merupakan bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: قُلْ أَتُعَلِّمُوْنَ اللهَ بِدِيْنِكُمْ “Katakanlah (wahai Nabi), apakah kalian hendak mengajari Allah tentang agama (amalan) kalian?” (Al-Hujurat: 16) Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari a’rabi (seorang Arab dusun) yang tidak benar cara shalatnya dengan sabdanya: إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ “Jika kamu bangkit (berdiri) untuk shalat maka bertakbirlah (yakni takbiratul ihram, pen).” (Muttafaqun ‘alaih dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu) Jadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan kepadanya: “Ucapkanlah: Aku berniat untuk…”3 Dan niat itu tempatnya di hati, berdasarkan hadits: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ “Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat.” (Muttafaqun ‘alaih, dari shahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu) Maka merupakan suatu kekeliruan jika dikatakan bahwa dalam kitab Al-Umm4 ada penyebutan melafadzkan niat. Tidak ada dalam kitab Al-Umm penyebutan tersebut. Dan melafadzkan niat tidak ada sama sekali dalam ibadah apapun dalam agama ini. Adapun talbiyah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: (لَبَّيْكَ حَجًّا), maka ada 2 kemungkinan: 1. Kata (حَجًّا) manshub5 sebagai mashdar (maf’ul muthlaq) yaitu (لَبَّيْكَ أَحُجُّ حَجًّا) “(Ya Allah), aku menjawab panggilan-Mu untuk menunaikan haji.” 2. Kata (حَجًّا) manshub sebagai maf’ul dari fi’il (نَوَيْتُ) yaitu (لَبَّيْكَ نَوَيْتُ حَجًّا) “(Ya Allah), aku menjawab panggilanmu, aku berniat untuk haji.” Namun ibadah ini (yaitu talbiyah) disamakan dengan ibadah-ibadah lainnya, maka kemungkinan yang pertama yang benar.6 3. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata (Zadul Ma’ad, 1/201): “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat beliau mengatakan (اللهُ أَكْبَرُ), dan beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya. Dan tidaklah beliau melafadzkan niat sama sekali dan tidak pula mengatakan: أُصَلِّي لِلَّهِ صَلاَةَ كَذَا مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ إِمَاماً أَوْ مَأْمُوْمًا “Aku berniat shalat ini (dzuhur misalnya, pen) menghadap kiblat, empat rakaat, sebagai imam,” atau “sebagai makmum.” Dan beliau tidak mengatakan:( أَدَاءً)7 atau (قَضَاءً)8, tidak pula (فَرْضَ الْوَقْتِ)9. Ini adalah 10 bid’ah10, tidak seorangpun yang menukilkannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dengan sanad yang shahih, atau dha’if (lemah), atau musnad (sanad yang bersambung) atau mursal (terputus sanadnya), satu lafadz pun dari lafadz-lafadz itu. Bahkan tidak juga dari seorang shahabat sekalipun. Dan tidak seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik, dan tidak pula dari kalangan imam yang empat (Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad, pen). Hanya saja sebagian orang dari kalangan mutaakhirin (orang-orang yang belakangan, pen) salah memahami perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i tentang shalat bahwa: ‘Shalat itu tidak sama dengan puasa, maka tidaklah seseorang mengawali shalatnya kecuali dengan dzikir,’ maka orang ini menyangka bahwa yang dimaksud adalah melafadzkan niat untuk shalat. Padahal yang dimaksud oleh Al-Imam Asy-Syafi’i adalah takbiratul ihram, bukan yang lainnya.” Wallahu a’lam. 1 Karena Rasulullah memisahkan antara amalan-amalan anggota tubuh dengan niat, bahwa niat itu yang menggerakkan tubuh untuk beramal. 2 Baik itu wudhu, shalat, puasa dan ibadah lainnya. 3 Atau “ushalli…”, sebagaimana yang sering kita dengar dari saudara-saudara kita yang sangat jahil dengan agama ini. 4 Kitab karangan Al-Imam Asy-Syafi’i. 5 Istilah dalam ilmu nahwu. 6 Artinya bahwa talbiyah merupakan dzikir, dan bukan melafadzkan niat. 7 Artinya ibadah yang ditunaikan pada waktunya. 8 Artinya ibadah yang ditunaikan setelah waktunya berlalu. 9 Artinya shalat yang diwajibkan pada waktu itu, baik dzuhur, atau ashar dan lainnya. 10 Yaitu 10 lafadz kata yang disebutkan. |