Rikuzentakata (ANTARA News) – Tiga malapetaka telah menghajar Jepang, negeri pulau yang terkenal karena sushi, Sony dan Samurai-nya itu.
Gempa bumi dahsyat menerjang sebelah timur laut negeri itu, diikuti oleh bencana tsunami dan reaktor nuklir yang bocor mengeluarkan radiasi.
Ribuan orang mati, dan harapan meredup untuk menemukan 12.000 orang yang dinyatakan hilang.
Selama berhari-hari dunia menyaksikan para korban selamat yang kebanyakan orang tua dan tinggal di desa-desa seperti Minami Sanriku dan Rikuzentakata, menderita, kehilangan orang-orang tercintanya, dan diserang udara dingin.
Seorang wanita berumur 85 tahun yang kehilangan saudaranya akibat tsunami, bernaung di sebuah pusat pengungsian di Rikuzentakata di Prefektur Iwate.
Sakiko Kono, nama nenek itu, mengatakan dia lari dari desanya di dekat pantai, di mana sebelum ini tinggal menyendiri.
“Semua orang mengalami masa yang sulit, maka itu saya hanya ingin bertahan,” kata Kono.
Bahkan bagi orang Jepang yang terbiasa dianggap sebagai contoh manusia yang bertanggungjawab, berani, dan berdaya tahan, bencana ini memaksa mereka untuk merenungkan kembali siapa mereka sebenarnya.
Tapi ini bukanlah kehormatan Samurai dan reputasi prilaku matang serta kesangatsopanan yang memenuhi jiwa mereka. Ini jauh lebih sederhana dari itu.
Ini adalah soal bencana yang kembali mendekatkan lagi Jepang ke akar agrarisnya, bertahun-tahun dari masa modern Japan Inc.
Ketabahan yang terlihat di Tohoku, istilah geografis untuk negara ini, adalah milik kaum petani dan nelayan Jepang, bukan pejuang atau pengusaha.
“Di pusat masyarakat petani adalah wujud bahwa sekeras apapun Anda bekerja, cuaca yang berubah dapat membuatmu kehilangan,” kata penyair Kundo Koyama. “Itu adalah kultur ketidakberdayaan.”
Menolak bantuan luar
Koyama, penulis skenario untuk film peraih Oscar 2008 “Departures”, dan tinggal di Yamagata, salah satu prefektur di timur laut yang terkena gempa dahsyat, yakin bahwa akar masyarakat petani inilah yang menjadi jalan bagaimana orang bisa bersama-sama.
“Instingnya adalah menyimpan persediaan, menolong sesama dan menjadi masyarakat yang mandiri bertahan,” katanya.
Sekalipun jauh dari tanah airnya, orang-orang Jepang selalu melihat ke dalam ketika menyangkut kekuatan dirinya dan bahkan akan malu ditawari bantuan oleh orang luar.
“Dengan penuh hormat, kami menolak menerima bantuan dari luar,” kata Tomoko Hirai, yang tinggal di London, sementara anak-anaknya belajar di sebuah sekolah Inggris.
“Ini yang menjadi pertimbangan pemerintah kami, baik di masa ini maupun selama gempa bumi Kobe (1995) yang menewaskan lebih dari 6.000 orang,” sambung Hirai.
Manakala relawan pemadam kebakaran bernama Takao Sato (53) mengetahui baik bosnya di pemadam kebakaran dan saudara iparnya hilang ditelan bencana, dia tidak berhenti bekerja demi mencari kedua kerabatnya itu.
Sebagai deputi di divisinya, Sato mengisi pos yang dulu diisi bosnya dan melanjutkan operasi mencari jenazah.
“Saya bertugas untuk masyarakat,” katanya.
Prilaku yang tidak egois itu kerap digugahkan di Jepang oleh pujangga kelahiran Iwate, Kenji Miyazawa, yang belakangan ini terus dikutipkan untuk menggambarkan kemahaberanian masyarakat timur laut Jepang.
Satu koran Amerika menjuluki para insinyur berpakaikan seragam antiradiasi yang dengan gagah berani menantang bahaya radiasi untuk terus bekerja di reaktor-reaktor nuklir, dengan sebutan “The Fukushima Fifty”.
Suratkabar Asahi Shimbun menyamakan para insinyur pemberani ini dengan cerita kepahlawan karya Miyazawa tentang seorang anak yang mengorbankan diri untuk menyalakan gunung berapi demi menyelamatkan penduduk desa dari kebekuan yang mematikan selama musim dingin yang menusuk kulit.
Sebuah bait puisi Miyazawa berbunyi “Ame ni mo makezu” yang melukiskan daya tahan manusia dalam menghadapi alam, dikutip oleh aktor Ken Watanabe yang kemudian disiarkan oleh radio internet ke seluruh negeri.
Di jantung semangat tabah masyarakat Jepang timur laut adalah pentingnya untuk senantiasa bertalian satu sama lain dengan masyarakat mereka.
“Pada situasi seperti ini, saya tak ingin mengatakan hal-hal buruk mengenai orang lain atau menyalahkan mereka. Itu semua membuat saya sedih,” kata Sakari Minato, dealer mobil berusia 47 tahun di Yamadamachi yang juga di Prefektur Iwate.
Rumahnya dihancurkan gelombang tsunami. Dia dan keluarganya kini tinggal di rumah kerabatnya.
“Pada waktu seperti ini, yang paling penting adalah berhubungan dengan orang-orang,” katanya.
Bahkan di masa krisis, penduduk timur laut Jepang yang kota mereka gelap gulita, kembali ke akar komunitasnya.
“Saya tak pernah mengira kota kelahiranku akan seperti ini,” kata penyanyi Masao Sen ketika mengunjungi pusat pengungsian Sakiko Kono.
Sen yang asli orang Rikuzentakata adalah artis terkenal di Jepang.
Penyanyi balada lagu-lagu “enka” yang telah berusia 63 tahun dan kerap menggambarkan kehidupan yang keras di wilayah timur laut itu, berbagi semangat dengan para korban ketika anak-anak dan orang tua mengerumuninya untuk berjabat tangan dan berfoto.
“Jepang tidak jatuh panik dan tidak kehilangan ketertibannya. Di negeri-negeri lain, mungkin ada penjarahan. Inilah standard hidup tinggi rakyat di sini,” kata Masao Sen. (*)
Reuters/Jafar Sidik
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © 2011
Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com